Syafruddin Prawiranegara
Mr. Sjafruddin Prawiranegara secara resmi ditetapkan menjadi salah satu Pahlawan Nasional pada 8 November 2011. Sehari kemudian, 9 November 2011, Ketua Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia (YMSI) Cabang Jawa Barat Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, MS memberikan ulasan mengenai sosok Sjafruddin pada rubrik “Opini” Pikiran Rakyat (PR) dengan judul “Mr. Sjafruddin PrawiranegaraAdalah Pahlawan”.
Pada hari yang sama, tulisan senada di Tribun Jabar (TJ), Galamedia (GM), dan Sinar Harapan (SH) dengan judul berbeda. Sebenarnya sangat mungkin berita senada juga terbit di media lain mengingat penetapan Sjafruddin sebagai Pahlawan Nasional bersamaan dengan enam orang lainnya, yakni Idham Chalid, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Ki Sarmidi Mangunsarkoro, I Gusti Ketut Pudja, Sri Susuhan Pakubuwono X, dan Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono atau akrab dengan sebutan I. J. Kasimo.
Opini versus Berita
Menariknya, empat media yang disebutkan di awal melibatkan narasumber sama: Nina Herlina Lubis (NHL). PR jelas menampilkan NHL sebagai penulis opini. Sementara itu, tiga media lainnya menjadikan NHL sebagai narasumber utama. Secara jurnalistik, empat artikel artikel di atas dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Tulisan pertama di PR dapat dikelompokkan sebagai opini. Artinya, penulis bertanggung jawab langsung terhadap tulisannya. Dalam hal ini, artikel “Mr. Sjafruddin Prawiranegara Adalah Pahlawan” merupakan pendapat langsung NHL. Dengan demikian, keseluruhan isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. Adapun tanggung jawab redaksi hanya berkisar pada kebijakan pemuatan atau tidaknya sebuah artikel.
Kemudian, artikel di TJ, GM, dan SH dapat dikategorikan sebagai berita. Bila dicermati lebih jauh, tiga artikel dalam media tersebut bisa dibedakan menjadi dua kategori. TJ dan GM dengan judul maing-masing “Farid: Ini Warisan Buat Anak Cucu; Mr Sjafruddin Prawiranegara Pahlawan Nasional” dan ”Sjafruddin Pr. Jadi Pahlawan Nasional Setelah Berkali-kali Ditolak” merupakan berita langsung (straight news), sementara SH dengan judul “Perjalanan Panjang Pahlawan Sjafruddin Prawiranegara” merupakan feature atau berita bertutur. Perbedaannya, berita langsung lebih mengedepankan pokok berita, sementara feature turut memasukkan unsur deskripsi atau narasi dalam penulisan berita.
Perbedaan kedua jenis berita dalam TJ, GM, dan SH sudah dapat dikenali dengan melihat kepala berita atau lead. Lead TJ dan GM langsung menohok pada pokok persoalan, yakni pengangkatan Sjafruddin sebagai Pahlawan Nasional. SH mencoba mengawali tulisannya dengan menyinggung ekspresi narasumber (NHL) saat memberikan keterangan. Pola umum yang biasa digunakan dalam penulisan berita langsung adalah menggunakan penulisan deduktif, dari umum ke khusus. Dunia jurnalistik menggunakan istilah “Piramida Terbalik” untuk menunjuk pola ini. Piramida dengan lancip di bagian bawah ini mengibaratkan bahwa semakin ke bawah semakin kecil arti penting nilai sebuah berita. Pokok berita berupa fakta-fakta utama ditempatkan di bagian awal. Penjelasan atau fakta tambahan ditempatkan pada bagian berikutnya. Feature sendiri lebih dinamis, pokok berita bisa ditempatkan di awal atau di akhir.
Perbedaan opini dan berita bisa dibedakan secara jelas dengan melihat teknis penulisan artikel yang bersangkutan. Opini sejatinya menampilkan secara langsung penulis di bawah judul artikel. Di sini, penulis adalah narasumber tuliasn itu sendiri. Biasanya, pada bagian akhir dilengkapi dengan atribut atau biografi singkat penulis. Hal ini berguna untuk melihat kredibilitas sumber. Dalam metode sejarah, pengujian kredibilitas sumber ini masuk ke dalam kritik internal (Lubis, 2008: 24-34). Pada berita, pernyataan narasumber diambil berdasarkan kebutuhan media. Penulis berita hanya mengutip pokok-pokok pernyataan yang dianggap relevan. Bagian yang dianggap penting dikutip secara utuh dengan ditempatkan sebagai kutipan langsung. Kutipan langsung ini bertujuan memberikan penguatan terhadap kutipan tidak langsung atau interpretasi media terhadap narasumber. Berkaitan dengan relevansi tadi, media biasanya mengunakan narasumber lebih dari satu.
Pada dua kasus ini, opini dan berita, artikel sebuah tema yang sama bisa menghasilkan tulisan berita berbeda. Terlebih karena pada dasarnya berita merupakan interpretasi jurnalis terhadap pernyataan narasumber. Boleh jadi di sini terdapat kesalahan dalam menginterpretasi, baik teknis maupun nonteknis. Contoh kesalahan teknis adalah ketidaktelitian menerjemahkan ejaan. Sementara kesalahan nonteknis adalah menangkap maksud pernyataan narasumber. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan apabila berita yang muncul di media massa berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh narasumber.
Sumber Asli dan Sumber Turunan
Dengan membaca empat artikel di empat media berbeda, kita sudah dapat membedakan mana di antara keempatnya yang paling lengkap dalam mengungkapkan pengangkatan Sjafruddin sebagai Pahlawan Nasional. Dari keempatnya pula kita bisa menilai artikel mana yang paling “berwarna”. Berkaitan dengan metode sejarah, kita juga bisa melihat mana di antara ketiganya yang merupakan sumber asli dan sumber turunan.
Mengacu kepada Garraghan (1948: 208-209), jika dua sumber menunjukkan beberapa poin kesepakatan dengan yang ketiga ketika di saat yang sama mereka berbeda satu dari lainnya, sangat beralasan untuk menyimpulkan bahwa keduanya merupakan turunan dari yang ketiga. Dalam konteks artikel PR, TJ, GM, dan SH, sumber asli sudah bisa langsung diidentifikasi dengan melihat beberapa bagian yang sama pada opini di PR dan berita di tiga media lainnya. Tulisan PR sudah barang tentu menggunakan sumber asli berupa artikel NHL. Sementara TJ, GM, dan SH menggunakan sumber asli untuk diambil beberapa bagian. Relasi ketiganya bisa dilihat dari beberapa kesamaan dalam artikel:
- Sjafruddin resmi diangkat menjadi Pahlawan Nasional setelah sebelumnya ditolak.
- Usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka pengajuan Sjafruddin menjadi Pahlawan Nasional.
- Sekilas biografi Sjafruddin berupa kelahiran dan kematian, riwayat jabatan, dan keterlibatan dan PRRI.
- Jasa-jasa Sjafruddin pada negara dan alasan lain di balik pengangkatan sebagai Pahlawan Nasional.
Terlepas persoalan tersebut, saya menilai perlunya ikut menjadi bagian
dari upaya diseminasi nilai-nilai kepahlawanan adalah menyampaikan
kutipan tentang kriteria pahlawan kepada khalayak. Hal ini penting
mengingat rendahnya pemahaman masyarakat terhadap paramater kepahlawanan
yang berlaku di Indonesia. Dalam artikel di PR, NHL menyampaikan
beratnya persyaratan bagi seseorang untuk dianugerahi sebagai Pahlawan
Nasional. Menurut saya, bagian ini akan makin lengkap manakala ikut
dimasukkan Pasal 24, 25, dan 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Pencantuman tentang syarat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut
untuk menunjukkan kepada masyarakat mengenai kaidah-kaidah dalam
penetapan seseorang sebagai pahlawan. Dengan demikian, tidak serta merta
seseorang yang dianggap berjasa bisa diajukan sebagai pahlawan. Hal
serupa juga untuk menjawab skeptisisme atau bahkan sinisme mereka yang
awam terhadap regulasi seputar gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar